BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran merupakan wahyu ilahi yang diturunkan dengan penuh
kemukjizatan. Ayat-ayatnya memiliki kelebihan masing-masing. Tak satupun yang
bisa disia-siakan hanya karena alasan sudah ada penggantinya dari ayat yang
lain. Besar kemungkinan bahwa kemampuan manusia tidak bisa menyingkap ibrah
yang tersimpan di dalamnya sehingga dengan mudah menganggap beberapa ayat
cenderung membosankan karena memiliki redaksi yang tidak jauh berbeda.
Tanpa perhatian yang intensif, tidak menutup kemungkinan seseorang
akan berasumsi bahwa banyaknya kemiripan dan kesamaan dalam beberapa ayat
al-Quran hanyalah merupakan sebuah pengulangan redaksi. Padahal, tidak jarang terdapat
hikmah dalam kemiripan tersebut, bahkan hal itu akan mengantarkan orang yang
tekun dalam menganalisisnya pada sebuah formulasi pemahaman dinamis. Oleh
karena itu, perlu adanya upaya penafsiran dengan metode yang bisa
mengidentifikasi serta mengakomodasi ayat-ayat yang dipandang mirip untuk
kemudian dianalisis dan ditemukan hikmahnya. Selain itu, pengungkapan makna di
dalamnya juga akan mewarnai dinamisasi kandungan al-Quran sehingga bisa
dipahami bahwa setiap ayat memiliki kelebihannya masing-masing.
Pada tataran itulah, kehadiran metode penafsiran ayat-ayat yang
beredaksi sama ataupun mirip secara muqaran, dianggap penting. Dari persoalan
tersebut maka kami akan membahas tentang tafsir muqaran yang mencangkup
beberapa elemen didalamnya.
B. Rumusan Masalah
Melihat
permasalahan diatas, maka permasalahan yang hendak di jelaskan dalam makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Apa
itu Tafsir Muqaran ?
2. Bagaimana
asal mula Tafsir Muqaran ?
3. Apa
saja ciri Tafsir Muqaran ?
4. Apa
saja kelebihan dan kekurangan Tafsir Muqaran ?
5. Siapa
saja tokoh-tokoh Tafsir Muqaran ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk
mengetahui pengertianTafsir Muqaran
2. Untuk
mengetahui asal mula Tafsir Muqaran
3. Untuk
Mengetahui ciri Tafsir Muqaran
4. Untuk
mengetahui kelebihan dan kekurangan Tafsir Muqaran
5. Untuk
mengetahui tokoh-tokoh Tafsir Muqaran
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Muqaran
Menurut
Epistimologi, Al-Muqaran berasal dari kata Qarana-Yuqarinu-Muqaranatun
yang berarti menggandeng, menyatukan, atau membandingkan.
Menurut
terminology, Tafsir Al-Muqaran ialah tafsir yang membandingkan antara ayat dan
ayat atau antara ayat dan hadits, baik dari segi isi maupun redaksi. Definisi
lainnya ialah membandingkan antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan
segi perbedaan. Dengan kata lain, mufasir meneliti ayat-ayat Al-Qur’an lalu
membandingkannya dengan pendapat mufassir lainnya sehingga ditemukan pemahaman
baru.[1]
Sesuai
dengan namanya, metode tafsir ini menekankan kajiannya pada aspek perbandingan
(komparasi) tafsir Al-Qur’an. Metode muqaran juga digunakan dalam membahas ayat
Al-Qur’an yang memiliki kesamaan redaksi namun berbicara tentang topic yang
berbeda. Atau sebaliknya, topic yang sama dengan redaksi yang berbeda. Ada juga
diantara penafsir yang membandingkannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an dengan
hadits nabi yang secara lahiriyah tampak berbeda.[2]
At-tafsir al-muqaran juga bisa dilakukan dengan membandingkan antar
aliran tafsir dan antara mufassir yang satu dan yang lainnya. Perbandingan itu
bisa juga berdasarkan perbedaan metode.
Jadi, metode penafsiran perbandingan memiliki objek yang sangat luas dan
banyak. Bentuk penafsiran yang di dimaksud bisa berupa perbandingan antara
ayat-ayat Al-Qur'an yang redaksinya berbeda, tetapi maksudnya sama atau
ayat-ayat yang menggunakan redaksi mirip, tetapi maksudnya berlainan.
Contoh :
قُلْ
تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ
إِمْلَاقٍ ۖ
نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ
اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Katakanlah:
marilah kubacakan apa yang diharamkan atasmu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua ibu bapak,
dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami akan
memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak diantaranya maupun yang tidak
tampak (tersembunyi), dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu
(sebab) yang benar" itulah yang
diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahaminya. (Q. S Al-An'am, 6:151).
وَلَا تَقْتُلُوا
أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ
وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ
خِطْئًا كَبِيرً
"Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan
memberi rezeki kepada mereka, dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah dosa besar (Q. S Al-Isra,
17:31).
Kedua ayat tersebut menggunakan redaksi yang berbeda tetapi
bermaksud sama, yakni melarang (mengharamkan) pembunuhan anak hanya karena
takut miskin. Namun, sasaran dan aksentuasinya jauh berbeda. Ayat pertama (Q.S
Al-An'am, 6:151) redaksi khitabnya
(arah pembicaraan) ditujukan kepada orang-orang miskin (fuqara), sedangkan ayat kedua (Q.S Al-Isra, 17:31) khitabnya ditujukan kepada orang-orang
kaya.
Pemahaman tentang perbedaan sasaran yang dituju dapat dipahami dari
bentuk redaksi kedua ayat tersebut. Pada surat Al-An'am (6) ayat 151 bentuk
redaksi yang digunakan adalah min imlaq
(takut kelaparan) yang belum tentu terjadi, sedangkan pada ayat 31 surat
Al-Isra menggunakan redakdi khasyata
imlaq yang menunjukan kelaparan itu sudah dan sedang terjadi, dan mereka
merasa takut itu akan terjadi.
Perbedaan lainnya terdapat pada penggunaan kata "kami memberi
rezeqi "(narzuq) yang berbeda
kata ganti gantinya (isim dhomir).
Surat al-an'am ayat 151 menggunakan redaksi narzuqukum
yang mendahulukan dhamir mukhotob
(orang kedua jamak), yakni pada kata narzuqukum
(kamilah yang memberi rezeki kalian) dan membelakangkan dhamir ghaib, yakni wa
iyyahum (dan juga kepada mereka). Sebaliknya, surat al-isra (17) ayat
31,redaksi yang digunakan adalah khasyata imlaq (rasa takut terhadap
kemiskinan), membelakangkan dhamir mukhatab, yakni wa iyyakum (dan kepada
kalian), dan mendahulukan dhamir ghaib,
yakni pada kata narzuquhum (kamilah
yang memberi rezeki mereka). Kata khasyata
imlaq menunjukkan bahwa kelaparan itu telah terjadi, sedangkan dhamir hum yang didahulukan dari pada dhamir kum untuk menyakinkan mukhatab (yang diajak bicara) bahwa
memberi jaminan Allah tentang rezeki dari anak-anak mereka dan juga orang
tuanya.
Menurut sebagian mufassir, kata imlaq
dan nahnu narzuqukum wa iyyahum pada ayat 151 surat Al-An'am mengisyaratkan
bahwa orang-orang miskinlah yang sedang mengalami kelaparan (kekurangan
ekonomi), sekalipun tidak boleh membunuh anak-anak nya dengan alasan apapun,
termasuk karena kelaparan yang sedang dialaminya. Allah menjamin bahwa dia lah
yang akan memberi rezeki kalian dan anak-anak meraka. Sebaliknya, surat Al-isra
(17) ayat 31 justru menggunakan kata khasyata
imlaq dan nahnu narzuquhum wa iyyakum yang ditujukan kepada
orang-orang kaya. Kata khasyata imlaq
yang artinya takut kelaparan mengisyaratkan kelaparan itu belum terjadi (atau
menimpa orang kaya). Namun, mereka (aghniya) merasa khawatir terhadap kehadiran
seorang anak yang akan membuatnya (yakni orang tua) menjadi jatuh miskin karena
anak-anak mereka turut memakan hartanya. Untuk menghilangkan rasa takut dalam
diri orang kaya terhadap kemiskinan, ayat itu menegaskan bahwa Allah lah yang
akan memberi rezeki kepada anak-anak mereka, bahkan orang tua pun pasti
mendapatkannya. Inilah rahasia penempatan kata narzukuhum dan didahulukan dari pada kata wa iyyakum. Penempatan ini memiliki maksud, yakni Allah memberi
jaminan bahwa Dialah yang akan menjamin rezeki para anak, bahkan rezeki itu
juga di berikan bagu kalian (orang kaya). Jadi, janganlah kalian merasa takut
akan terjadinya kelaparan.
Selintas, perbedaan redaksi tersebut boleh jadi tidak mengundang
perhatian apa pun sehingga, tidak mengherankan jika tidak sedikit mufassir yang
tidak perduli terhadap perbedaan redaksi tersebut. Namun, bagi sebagian mufassir
yang terkait dengan kaidah yang menyatakan bahwa "penambahan bentuk akan
menunjukkan perbedaan makna" sedikit perbedaan redaksi itu tetap menarik
perhatian.[3]
B. Asal Mula Tafsir Muqaran
Sejarah
mencatat, penafsiran al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal
pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah
yang menyebutkan bahwa Nabi pernah melakukannya. Pada saat sahabat beliau tidak
memahami maksud dan kandungan salah satu isi kitab suci al-Qur’an, mereka menanyakan
kepada Nabi. Dalam konteks ini, Nabi memang berposisi sebagai mubayyin
(penjelas terhadap segala persoalan umat). Penafsiran-penafsiran yang dilakukan
Nabi ini memiliki sifat-sifat dan karakteristik tertentu, diantaranya penegasan
makna (bayan al-ta’kid); perincian makna (bayan tafshil), perluasan dan
penyempitan makna; kualifikasi makna, serta pemberian contoh. Sedangkan dari
segi motifnya, penafsiran Nabi SAW terhadap ayat-ayat al-Qur’an mempunyai
tujuan-tujuan: pengarahan (bayan Irsyad), peragaan (tathbiq), pembetulan (bayan
tashhih) atau koreksi.
Sepeninggal
Nabi, kegiatan penafsiran al-Qur’an tidak berhenti, malah boleh jadi semakin
meningkat. Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika
masyarakat yang progresif mendorong uimat Islam generasi awal mencurahkan
perhatian yang besar dalam menjawab problematika umat. Perhatian utama mereka
tertuju kepada al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka upaya-upaya
penafsiran terus dilakukan. Dalam penafsiran pada masa itu, pegangan mereka
adalah riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi.
Penafsiran-penafsiran
yang dilakukan para sahabat di atas, pada pembahasan selanjutnya nanti dikenal
dengan tafsir bi al-ma’tsur. Tafsir yang disebut terakhir ini mendasarkan
pembahasan dan sumbernya pada riwayat. Cara ini kemudian dikenal sebagai sebuah
metode penafsiran al-Qur’an yang disebut dengan metode riwayah. Sebagai
perimbangana dari metode ini timbullah metode lainnya, yaitu tafsir bi al-ra’yi
yang mendasarkan sumbernya pada penalaran ijtihadi. Dari dua metode ini,
nantinya lahir metode-metode lain yang menyebabkan metodologi penfsiran
al-Qur’an berkembang. Metode-metode yang dimaksud adalah metode tahlili, metode
ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i. Hal yang perlu dicatat ialah pada
masa Nabi dan sahabat, tafsir al-Qur’an masih menggunakan metode ijmali
(global). Hal tersebut menunjukkan bahwa metode yang paling awal digunakan
adalah metode ijmali, sebab pada waktu itu, Nabi dan Sahabat belum memberikan
tentang ayat secara rinci dan mendetail.[4]
C. Ciri Tafsir Muqaran
Ciri
utama metode ini adalah membandingkan. Adapun yang dibandingkan adalah ayat
dengan ayat lainnya, ayat dengan hadits, atau pendapat mufasir dengan mufasir
lainnya. Berikut ini ciri tafsir muqaran atau metode komperatif :
1. Cakupan
pembahasannya sangat luas karena membandingkan tiga hal, yaitu ayat, hadits,
dan pendapat mufasir.
2. Ruang
lingkup dari masing-masing aspeknya berbeda.
3. Ada
yang menghubungkan pembahasan dengan konotasi kata atau kalimat. Misalnya,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ
مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ
Muhammad
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras
terhadap orang-orang kafir. (QS.Al-Fath (48) :29)
Ketika
membahas kata Al-Kuffar, tidak dapat disamakan dengan kata Al-Kuffar
yang terdapat dalam ayat berikut :
كَمَثَلِ
غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ
Seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani
(QS.Al-Hadid (57) : 20)
Kosakata
dalam dua ayat tersebut sama, tetapi konotasi maknanya sangat jauh berbeda.
4. Mengomparatifkan
antara ayat-ayat yang beredaksi sama, hadits yang memiliki kemiripan, serta
pendapat mufasir mengenai ayat tertentu.[5]
1. Cara Kerja Tafsir Muqaran
Berikut
ini cara kerja tafsir Al-Muqaran (Metode Komperatif) :
a. Membandingkan
ayat-ayat yang memiliki persamaan atau memiliki redaksi berbeda tetapi
membicarakan kasus yang sama. Dengan demikian, terlihat persamaan dan
perbedaannya.
b. Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan hadiots yang secara lahiriyah terlihat bertentangan.
Upaya ini untuk mengungkap persamaan teks hadits dengan Al-Qur’an lalu dicari
benang merahnya.
c. Membandingkan
berbagai pendapat ulama tafsir. Setelah itu, menguatkan pendapat yang shahih
dan membuang pendapat yang dha’if.
d. Membandingkan
ayat Al-Qur’an dengan kitab-kitab terdahulu, sepertio taurat, zabur, dan injil.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui kelebihan Al-Qur’an dan mengungkap
penyelewengan yang terjadi.[6]
D. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Muqaran
Metode komperatif memiliki cangkupan yang sangat luas karena tidak membandingkan
ayat dengan ayat ,tetapi juga membandingkan ayat dengan hadits dan pendapat mufasir
lainnya. Kajian masing-masing aspek berbeda, sesuai dengan objek yang
dikajinya. Objek kajiannya pun luas karena segala pendapat yang dikemukakan dibandingkan
dengan berbagai pendapat lainya.
1.
Adapun kelebihan metode ini adalah :
A.
Memberikan
wawasan yang sangat luas.
Melalui metode ini pembaca mendapat wawasan yang luas karena setiap
ayat dilihat dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dengan demikian, pemahan terhadap
Alquran sangat luas.
B.
Menghargai
pendapat orang lain.
Pembaca dapat terhindar dari sikap fanatisme yang dapat merusak persatuan
dan kesatuan umat.
C.
Pintu
pengetahuan semakin luas
Metode ini menjanjikan berbagai pengetahuan karena disajikannya berbagai
pendapat. Metode ini sangat cocok bagi mereka yang ingin memperdalam ilmu tafsir.
D.
Mengungkap
kemukjizatan Al-Qur’an
E.
Membuktikan
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an sebenarnya tidak ada yang kontradiktif atau
bertentangan
F.
Dapat
mengungkapkan orisinilitas dan objektifitas hadits nabi Saw
G.
Dapat
mengungkap sumber-sumber perbedaan di kalangan mufasir atau perbedaan pendapat
diantara kelompok umat islam yang didalamnya termasuk mufasir itu sendiri
2.
Kekurangan metode komperatif adalah sebagai berikut :
A.
Tidak
cocok untuk para pemula.
Luasnya ruang lingkup metode ini membuatnya tidak cocok untuk para
pemula. Mereka belum siap menerima bebagai pendapat dan tidak mustahil mereka justru
akan semakin menentukan pilihan.
B.
Kurang
dapat diandalkan untuk menjawab pertanyaan social.
Karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada memecahkan
permasalahan, maka metode ini kurang tepat untuk menjawab permasalahan yang
muncul ditengah tengah masyarakat. Misalnya sesorang ingin mengetahui apakah korupsi
termasuk pencurian atau tidak. Jika mempelajarinya dari tafsir metode kompeeratif,
ia akan semakin bingung karena banyaknya pendapat yang disampaikaikan tentang korupsi.
C.
Lebih
banyak menelusuri penafsiran terlebih dahulu.
Pada umumnya mufasir lebih banyak menelusuri penafsiran yang telah ada
dari pada mengemukakan penafsiran baru. Oleh sebab itu, kreatifitas mufasir menjadi
terbatas.
D. metode tafsir muqaran
cenderung selalu menggunakan potensi rasio saja
E. Hanya ingin mengetahui perbedaan-perbedaan dan
persamaan-persamaan ayat saja[7]
3.
Nilai Penting Tafsir Muqaran
Tafsir metode komperatif mengemukakan berbagai disiplin ilmu sesuai
dengan konteks ayat sehingga dibutuhkan oleh orang yang ingin mendapatkan
pemahaman luas. Sementara itu, pada era modern seperti sekarang ini, tafsir metode
komperatif semakin dibutuhkan oleh umat. Hal itu karena banyaknya aliran yang
terkadang keluar dari pemahaman yang benar. Dengan metode ini dapat diketahui
mengapa penyimpangan penafsiiran timbul. Disamping itu, metode komperatif
sangat berperan dalam mengembangkan pemikiran tafsir.[8]
E. Tokoh dan Karya Tafsir Muqaran
1. Jami’
Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, oleh Ibnu Jarir Ath-Thabiri (Beliau adalah
mufasir pertama yang menggunakan metode ini)
2. Tafsir
Al-Qur’an Al-Azhim, oleh Ibnu Katsir
3. Adhwa
Al-Bayan Fi Idhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an, oleh Asy-Syanqithi
4. Tafsir
At-Tafasir, oleh Abu Abdirrahman Ibnu Uqail Azh-Zhahiri
5. Karya
Tafsir Muqaran yang lahir di zaman modern adalah Qur’an and its interpreters,
oleh Prof.Mahmud Ayyub
6. Durrat
at-tanzi wa qurrat at-ta’wil, Al-Khatib Al-iskafi
7. Al-Burhan
fi taujihnmutasyabih, oleh taj ilkirmani[9]
8. Tafsir
Al-Maraghi dan Al-Jawahir fi tafsir Al-Qur’an
9. Ayatul
Ahkam, oleh pendapat para fuqoha
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1. Tafsir
Al-Muqaran ialah tafsir yang membandingkan antara ayat dan ayat atau antara
ayat dan hadits, baik dari segi isi maupun redaksi. metode tafsir ini
menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir Al-Qur’an.
2. Penafsiran
al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan
perkembangan Islam. Sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran al-Qur’an tidak
berhenti, malah boleh jadi semakin meningkat. Munculnya persoalan-persoalan
baru seiring dengan dinamika masyarakat yang progresif mendorong uimat Islam
generasi awal mencurahkan perhatian yang besar dalam menjawab problematika
umat. Sehingga memunculkan banyak metode tafsir.
3. Ciri
utama metode ini adalah membandingkan. Adapun yang dibandingkan adalah ayat
dengan ayat lainnya, ayat dengan hadits, atau pendapat mufasir dengan mufasir
lainnya.
4. Tafsir
muqaran memiliki banyak kelebihan dan kekurangan, salah satu kelebihannya yaitu
memberikan wawasan yang luas dan salah satu kekurangannya sulit di tafsir oleh
pemula.
5. Tak
sedikit pula tokoh tokoh yang menafsirkan tafsir muqaran, salah satu contohnya
yaitu Durrat at-tanzi wa qurrat at-ta’wil, Al-Khatib Al-iskafi.
B. Saran
Demikian
yang dapat kami uraikan mengenai metode Tafsir Muqaran (metode komperatif) yang
mencakup pengertian, asal mula, ciri, kelebihan dan kekurangan, dan tokoh
beserta karyanya. Setelah ini diharapkan kita mampu mengetahui lebih mendalam
tentang metode muqaran.. Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan.
Kami berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya pada kami
selaku penyusun makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Samsurrohman.
pengantar ilmu tafsir. Jakarta:
Amzah. 2014
Suryadilaga,
M. Alfatih. metodologi ilmu tafsir. Yogyakarta: Teras. 2005
Izzan,
Ahmad. metodologi ilmu tafsir. Bandung: Tafakur. 2014
[1]
Samsurrohman, pengantar ilmu tafsir, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm 122
[2] M.
Alfatih Suryadilaga, metodologi ilmu tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005,
hlm 45
[3]
Ahmad Izzan, metodologi ilmu tafsir, (Bandung: Tafakur, 2014) hlm
106-109
[5]
Samsurrohman, pengantar ilmu tafsir…, hlm 122
[6]
Samsurrohman, pengantar ilmu tafsir…, hlm 136
[7]
Samsurrohman, pengantar ilmu tafsir…, hlm 131-132
[8]
Samsurrohman, pengantar ilmu tafsir…, hlm 137
[9]
Samsurrohman, pengantar ilmu tafsir…, hlm 123
0 komentar:
Posting Komentar